“Siapa yang ngajarin?”

Bagi yang bingung kenapa ada tag “Education” di post ini, gue merasa bahwa mereka yang bisa membaca di antara alinea bisa mengambil pelajaran. Atau setidaknya teori yang bisa diocehkan lalu dipelajari orang lain. Mungkin tidak ada apa-apa disini. Entahlah. Semua tergantung mata sang pembaca.

*  *  *

Ini kisah nyata tentang saya yang kurang ajar dan Ibunda yang kurang mengajar.

Suatu hari setelah ketahuan berbohong, gue dimarahi. Kasusnya? Mengambil camilan dari kulkas tanpa izin. Sepele memang, sejujurnya. Gue udah lupa apa camilan itu, yang gue ingat Mama sudah wanti-wanti jangan makan dulu. Apa daya, iman gue setipis lembaran tisu. Hahaha….

Singkat cerita (dan ini gue persingkat ceramah selama 30 menit menjadi satu kalimat kesimpulan), nyokap gue berkata, “Siapa, sih, yang ngajarin kamu bohong?”

Dan gue menjawab dengan setengah takut-takut, “Mama.”

*  *  *

Kenapa gue dengan begonya menyahut balik? Kebiasaan. Dulu waktu TK pun gue pernah dimarahi guru karena terlalu detil. Kasusnya guru gue marah karena kelas yang ribut, lalu menyuruh semua diam dan hanya boleh bicara kalau mengangkat tangan terlebih dahulu lalu ditunjuk. Lantas gue menunjuk tangan.

“Kenapa, Shannon?”

“Kecuali Miss, kan? Kalau Miss yang ngomong gapapa, kan?”

Dikira kurang ajar (bahasa halus dari nyolot) gue dimarahi. Orang tua pun sempat diberitahukan. Sejujurnya gue beneran nanya. Lagian, kalau dia harus angkat tangan juga, siapa yang ngasih izin bicara? Masak kepala sekolah harus masuk kelas dulu?

*  *  *

Kembali ke cerita awal, bisa dilihat kebiasaan itu belum berubah. Sekarang pun gue masih suka mendapat tatapan tidak percaya rekan-rekan sependeritaan di sekolah lantar termasuk “berani ngomong” ke guru. Toh, mereka manusia juga. Dan selama gue gak kelewatan, gak ada yang salah, kan?”

Nyokap gue shock saat gue jawab dengan sisa-sisa kepolosan saat itu. Rentetan ocehan kembali terdengar, dan percayalah, suaranya tak merdu.

Akhirnya gue jelaskan jawaban gue itu.

*  *  *

Saat itu gue lagi asik nonton TV. Telpon rumah berdering. Gue angkat.

“Adek, mamanya ada?”

“Sebentar, ya.”

Ada orang dari bank mau ngomong. Nyokap suruh gue bilang aja dia lagi mandi. Gue gamau. Setelah ancaman singkat gue menurut juga. Lalu gue nangis.

*  *  *

Fakta menyedihkan. Sekarang pun, walau sudah belajar untuk berani dibenci karena beropini, terkadang gue masih berbohong. Dan gue paling banyak bohong (atau menyembunyikan kebenaran, setidaknya) dari orang tua. Oke, mungkin sama banyaknya dengan yang gue sembunyikan dari teman. Tapi idealnya ortu paling tahu, kan?

Sekarang kalau fakta itu tersinggung, nyokap marah. Dia bilang, gue ingat-ingat kesalahannya. Lha, kan gue bukan sengaja menyinggung karena benci, tapi emang itu adanya. Apa bedanya dengan dia yang menganggap gue akan selalu mengulang hal yang sama? Yang menginggung tiap kejadian terakhir dimana gue melakukan apa yang dia nggak suka tiap kali gue melakukannya lagi?

*  *  *

Sejujurnya, banyak ortu jaman sekarang yang mungkin sedih, marah, atau keduanya melihat anak-anak kini. Nyatanya, kemungkinan besar mereka mengambil andil, walau tak ada maksud di baliknya.

“Kenapa, sih, anak-anak sekarang mau aja dibego-begoin?”
Siapa yang mengajarkan–bukan, menyuruh–kami diam saat dulu kami bertanya dan menambahkan “nurut aja”?

“Siapa yang ngajarin begitu?”
Lihat dulu, apa kau melakukan apapun itu di depan anakmu? Lalu dapatkah kau menyalahkan hanya dirinya jika ia meniru?

“Jangan gampang percaya orang lain!”
Siapa yang dulu menyuruh kami berhenti mempertanyakan segala hal?

“Kok kamu ikut-ikutan orang lain, sih?”
Siapa yang dulu membanding-bandingkan? Apakah sepenuhnya salah kami jika menemukan panutan? Karena di mata ortu dan anak suatu benda tak terlihat sama. Layaknya seorang manusia.
Siapa yang dahulu berkata “Andai kamu seperti dia.”? Dan kami pun meniru. Hanya saja meniru yang salah. Kalian inginkan yang baik, kami tiru yang buruk. Dan kami belajar meniru siapa yang kami idolakan. Dan terkadang idola itu bisa menyesatkan.

“Kenapa harus nyontek?”
Karena kami diajarkan untuk mendapat nilai bagus. Karena kami takut dimarahi. Takut mendapatkan tatapan kekecewaan. Dan terkadang kami terlalu bodoh untuk menyadari banyak hal yang lebih penting, seperti kejujuran dan kepercayaan. Tetapi kami juga perlu kata-kata seperti “Seenggaknya kamu belajar.” dan bukan hanya “Kamu harus dapat nilai lebih tinggi di ulangan berikutnya!”

“Kenapa mau aja nurut sama teman?”
Karena kami tak lagi diajarkan untuk mempertanyakan. Dan kami butuh penerimaan. Bukan berarti kalian tak memberi, tapi kami juga perlu penerimaan dari orang lain. Dan terkadang apa yang ada tak mencukupi. Sesederhana itu. Serumit itu.

“Siapa yang ngajarin ngomong kasar begitu!? Mulut kayak tong sampah!”
Apakah menyamakan mulut kami dengan tong sampah tak salah? Apakah itu tak kasar? Apa air mata yang kami teteskan di mata kalian tak kasat?

“Malu-maluin!”
Maka dari itu, LUANGKAN WAKTU! Ajar apa yang memalukan dan apa yang tidak! Jangan mentang-mentang kami mulai dewasa, kalian berharap “terima jadi” saja. Yang kami pelajari lewat sosialisasi tak selamanya bisa memenuhi ekspektasi. Mengertilah hal tersebut.

“Siapa yang kasih tau harus sembunyi-sembunyi dari Papa-Mama, hah!?”
Kalian. Saat tiap kesalahan dimaki. Tiap kali kami tersandung malah diinjak. Lalu saatnya tiba saat kami memutuskan sembunyi dan pada akhirnya tak memikirkan apakah yang kami lakukan itu benar di mata kalian. Toh, kalian tidak akan tahu?

*  *  *

“Kenapa nggak pernah cerita sama Papa-Mama? Ama teman melulu! Pilih teman atau orang tua?

Bukankah itu kalimat ancaman favorit? Hingga layak mendapat bagiannya sendiri.

Kalimat yang membuyarkan begitu banyak rencana jalan-jalan. Yang mengakibatkan begitu banyak kemarahan dan bantingan pintu. Kasihan pintunya. Nanti rusak. Mahal, woy!

Sejujurnya, keduanya sama saja. Tapi kalau harus memilih, gue akan memilih teman. Untuk alasan-alasan yang tak perlu gue jelaskan. Orang tua gue sudah tahu. Percayalah, pada mereka sudah gue katakan hingga mulut bagai berbusa.

Tetapi pikirkan saja hal ini: Apa yang membuatmu, jika kau orang tua, lebih “layak” dipilih ketimbang teman-teman anakmu? Dan tolong jangan berpikir, “Gue yang bayarin hidup dia! Masak dia lebih milih teman?”

Jangan pikirkan apa yang kalian telah beri, melainkan apa yang ia terima. Karena nasehat yang diberi bisa diterima sebagai tusukan ke hati. Demikian hal-hal lain.

*  *  *

“Siapa yang ngajarin?”

Kalian, orang tua. Baik ada atau tidak. Dengan ada namun tidak mengerti mengajarkan benci. Dengan tidak ada mengajarkan arti perhatian. Rasa kehilangan.

Tak selamanya hal itu buruk. Terkadang bisa dijadikan pelajaran.

Sekarang gue dilabelkan orang yang blak-blakkan. Ada unek-unek bersama yang ingin dikeluarkan? Oh, gue menjadi salah satu kandidat utama untuk menyampaikan. Dan itu menjadi imaji diri ini. Bahkan bagian. Apa gue menyesal?

Sama. Sekali. Tidak.

Tapi gue menyayangkan apa yang harus gue lalui untuk mencapai sedikit sifat positif yang gue miliki. Haruskah ada tahap membenci orang tua dalam proses tersebut?

Lalu, buat para anak, jangan juga mau mengikut arus. Orang tua pun tak sempurna. Begitu pula kita. Tapi tak ada salahnya berusaha. Terkadang kekurangan mereka akan tercermin dalam diri kita. Biasanya menurun. Gue sendiri sudah menemukan hal itu. Dan sedang berpikir bagaimana caranya mengubah hal-hal tersebut. Atau setidaknya memanfaatkannya untuk sesuatu yang berguna.

Sulit. Benar-benar sulit.

Tetapi orang tua gue juga yang mengajarkan bahwa hal sulit itu tidak mustahil. Terkadang kita yang terlalu cepat menyerah. Atau “tak rela” berubah. “Pasrah” dengan alasan “Memang gue begini apa adanya. Kenapa lo gak bisa terima gue aja?”

Sejujurnya, banyak yang bisa gue pelajari dari satu hal itu.

Leave a comment